Sebagai bentuk kebahagiaan dengan kemerdekaan Bangsa Indonesia yang jatuh pada bulan Agustus, masyarakat memeriahkannya dengan berbagai macam perlombaan dan hiburan-hiburan lainnya. Dan diantara yang rame akhir-akhir ini adalah hiburan karnaval. Padatnya agenda karnaval dan banyaknya masyarakat yang menunggu menjadikan perayaan tersebut tidak hanya di bulan Agustus saja. Akan tetapi merambat hingga bulan setelahnya, September.
Jika dulu, kita akan menemukan hiburan karnaval hanya di perkotaan saja. Sekarang sudah menjamur ke pedesaan di segala penjuru Negeri ini. Penampilan mereka pun beragam. Ada yang menampilkan pakaian adat-adat yang ada di Negeri ini. Ada yang menampilkan busana dengan peragaan tempo dulu.
Bahkan tak sedikit dari mereka yang menampilkan Pakaian penjajah lengkap dengan tawanannya. Dan dalam pembiayaan, mereka tidak perhitungan walaupun mengeluarkan uang yang tak kecil demi tersalurkannya kreatifitas yang dimiliki. Mereka beradu kreatifitas yang kemudian dinilai oleh para juri yang bertugas.
Dalam acara karnaval tersebut memang tidak ada yang salah. Bahkan bagus dan perlu dilestarikan. Hanya saja, isi dari penampilannya perlu dibatasi lagi. Karena sebagimana kita ketahui, dibalik penampilan kreatif dari peserta, ada beberapa yang menampilkan kumpulan ibu-ibu atau para wanita yang berpakaian tidak senonoh.
Dengan berpakaian baju ketat, diiringi musik yang menggelegar dari sound system. Mereka berjoget-joget, bergoyang, dan menari-nari memperlihatkan auratnya. Ini yang perlu diperbaiki lagi karena cenderung merusak moral anak-anak yang menyaksikan.
Maraknya penampilan dalam karnaval dengan sedemikian rupa, perlu kiranya penulis sampaikan sebatas mana aurat perempuan dalam Islam. Bila merujuk pada arus utama Mazhab Syafi’i yang diamalkan masyarakat Indonesia, maka semestinya seluruh tubuh perempuan adalah aurat yang haram dilihat laki-laki bukan mahram kecuali wajah kedua telapak tangan.
Kenapa telapak tangan dan wajah dikecualikan? Alasan pertama, karena nash Surat Al-Ahzab ayat 31 yang kemudian ditafsirkan oleh Ibnu Abbas RA bahwa yang dikecualikan dalam ayat adalah wajah dan kedua telapak tangan. Kedua, berdasarkan larangan Nabi Muhammad SAW terhadap perempuan yang sedang ihram dalam memakai sarung tangan dan niqab penutup wajah. Dalam hadist ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu Umar RA. Ketiga, karena membuka wajah perempuan diperlukan seperti saat jual beli. Demikian pula kedua telapak tangan dibutuhkan untuk mengambil dan memberikan sesuatu dalam berbagai kegiatan keseharian.
Dalam keterangan di atas sudah jelas, ya? Pertanyaannya, lalu bagaimanakah dengan model kerudung yang kurang rapat atau tidak terlalu panjang hingga tonjolan dadanya terlihat jelas? Begitu juga bagaimana dengan kaki yang telanjang dan tangan terbuka?
Pertama, tentang pakaian ketat. Sangat banyak sekali perempuan di era sekarang berkerudung namun pakaiannya ketat. Mulai dari celana, baju, dan kerudungnya pun tidak menutupi dadanya. Bagaimana pandangan ulama? Dalam al-Quran, pakaian yang baik adalah suatu keniscayaan sesuai nilai-nilai yang terkandung dalam syariah Islam. Dalam aturan berpakaian, sudah termaktub di dalam nash yang tidak dipisahkan dengan aturan syariat.
Sebagaimana termaktub dalam al-Quran surat Al-Ahzab ayat 33:
… وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ…
Artinya : …Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah…
Jikalau ditinjau secara bahasa artinya tampak atau terlihat, atau bisa diartikan memamerkan kecantikan tubuh seseorang, karena pada masa jahiliyyah wanita tidak memperhatikan batasan aurat yang harus ditutupi. Adapun makna tabarruj dalam kitab tafsir adalah:
إِظْهَارُ الْمَرْأَةِ مَحَاسِنَ ذَاتِهَا وَثِيَابِهَا وَحُلِيِّهَا بِمَرْأَى الرِّجَالِ
Artinya: Wanita yang menampakkan keindahan dirinya, pakaiannya, dan perhiasannya di hadapan para lelaki (yang bukan mahramnya).
Dalam kitab Minhajul Qawim juz I dikatakan,
وَشَرْطُ السَّاتِرِ فِى الصَّلَاةِ وَخَارِجِهَا اَنْ يَشْمِلَ الْمَسْتُوْرُ لِبْسًا وَنَحْوَهُ مَعَ سَتْرِ اللَّوْنِ فَيَكْفِى مَايَمْنَعُ اِدْرَاكَ لَوْنِ الْبَشَرَةِ
Artinya: Syarat pakaian yang digunakan untuk menutup aurat, baik di dalam atau di luar sholat adalah, selain pakaian itu menutup atau meliputi aurat, pakaian itu juga harus mampu menutupi warna kulit.
Ketika kita membahas tentang aurat maka permasalahannya akan melebar kepada pembahasan pakaian. Adapun syarat-syarat wanita menggunakan pakaian sesuai dengan syariat Islam dijelaskan dalam buku “Ar-risalah fiqh wanita” yang ditulis oleh Maftuh Ahnan adalah sebagai berikut:
- Menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.
- Berbahan tebal dan tidak tembus pandang (transparan) sehingga memperlihatkan warna kulit.
- Longgar dan tidak sempit (ketat) sehingga tidak menampakkan lekuk-lekuk tubuh.
- Tidak menyerupai pakaian laki-laki (larangan menyerupai di sini adalah keserupaan karena ingin berlagak seperti laki-laki pada umumnya atau menampakan diri seperti laki-laki).
- Tidak menyerupai wanita kafir dan wanita jahiliyah (wanita jahiliyah adalah wanita yang memakai kerudung tapi leher dan dada mereka tetap terlihat).
- Tidak terlalu mencolok sehingga menarik perhatian orang yang melihatnya (syuhroh).
- Tidak diberi hiasan yang berlebihan, seperti warna-warna yang berlebihan.
Demikianlah, semoga menjadi kritik sosial yang bermanfaat demi kebaikan bersama. Dan perlu diingat juga. Ketika seorang anak perempuan yang sudah masuk usia baligh dan berpakaian membuka aurat, maka dosanya dibebankan kepada orangtuanya. Kecuali orang tuanya sudah menasehati, namu tidak dihiraukan. Maka dosanya ditanggung sendiri.
Jika wanita bersuami membuka auratnya dan dipandang oleh laki-laki lain, maka dosanya ditanggung oleh suaminya. Karena suami merupakan imam yang wajib mengarahkan sang istri untuk mengikuti dan mentaati perintah agama. Kecuali suaminya sudah menasehati, namu tidak dihiraukan. Maka dosanya ditanggung sendiri.
Wallahu a’lam
Semoga bermanfaat
Emha