HIKMAH TRADISI TAJIN SAPPAR

Dipublikasikan

Di dalam bulan Safar tajjin sappar telah menjadi adat dan tradisi yang telah mengakar kuat di kalangan masyarakat, khususnya di pedesaan. Biasanya, mereka saling berbagi antar tetangga dan saudara. Hingga kini, masih banyak ditemui dan lestari antara sanak family.

Tajin atau jenang yang dimaksud adalah jenang yang berwarna merah atau coklat muda yang berbentuk bulat seukuran kelereng, dan di tengah-tengahnya terdapat tepung kenyal. Komposisinya, tepung, gula merah dan santan.

Jika ditelisik lebih jauh, tidak diketahui siapa yang petama kali pencetusnya. Hanya saja, menurut beberapa catatan dikatakan bahwa penggagasnya adalah Sunan Kalijaga.

Tentu saja, dalam setiap adat yang tidak bertentangan dengan syariat ada hikmahnya. Adapun hikmah tajin sappar yang pertama adalah memperkuat silaturahmi. Dalam hal ini, membagikan makanan kepada tetangga dan kerabat akan menciptakan kuatnya ikatan persaudaraan yang lebih erat. Walaupun pemberiannya tidak seberapa, bahkan terbilang sangat kecil karena bertukar jenang, akan tetapi dampaknya luar biasa.

Karena tidak bisa dipungkiri, sekeras apapun hati seseorang, nantinya akan luluh juga jika mendapatkan hadiah. Dengan saling berbagi makanan tersebut, kita telah menghindari atau menjauhi peringatan dari Allah bagi orang-orang yang memutus silaturahmi. Telah jelas di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوْا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ. أُولَٰئِكَ الَّذِيْنَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَارَهُمْ.

Artinya: Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah; lalu dibuat tuli (pendengarannya) dan dibutakan penglihatannya.

Redaksi ayat di atas sudah jelas sekali bahwa orang yang memutus hubungan kekeluargaan mendapat peringatan dan adzab dari Allah. Maka sambunglah silaturahmi, baik kepada tetangga, lebih-lebih kepada kerabat. kerabat atau keluarga. Salah satunya adalah momentum berbagi tajjin sappar ini.

Silaturahmi dengan tetangga jangan dianggap sepele. Karena Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam jelas sekali dalam hadist, beliau bersabda:

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَومِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

Artinya: Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. (HR Muslim).

Hadits di atas jelas sekali bahwa memuliakan tetangga merupakan bentuk penghargaan terbaik untuk saling memberikan kenyaman dalam hidup.

Bahkan, memuliakan tetangga merupakan bentuk atau ekspresi keimanan seseorang. Dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sendiri adalah orang yang sangat menjunjung tinggi keharmonisan antar tetangga. Tentunya, tindakan Rasulullah berbuat baik kepada tetangga merupakan anjuran bagi orang-orang muslim untuk berbuat baik kepada para tetangga dan memuliakan mereka.

Dalam hadist lain, Rasulullah sampai bersumpah dengan nama Allah:

 وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ قِيلَ وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بِوَائِقَهُ

Artinya: Demi Allah, tidak sempurna imannya, demi Allah tidak sempurna imannya, demi Allah tidak sempurna imannya.” Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam ditanya “Siapa yang tidak sempurna imannya wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seseorang yang tetangganya tidak merasa aman atas kejahatannya.” (HR al-Bukhari).

Dalam hadis lain, Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam menyebutkan seorang muslim tidak beriman apabila tetangganya tidak aman dari perbuatan buruknya. Tidak tanggung-tanggung, beliau mengulang peringatan ini sebanyak tiga kali. Hal ini menunjukkan betapa kerasnya peringatan agar tidak berbuat buruk kepada tetangga.

Hikmah kedua dari adanya tajjin sappar adalah menambah rentetan sedekah jariyah. Sedekah jariyah adalah perbuatan yang terus mengalir pahalanya. Dalam hal ini, berbagi tajjin sappar dengan tetangga dan sanak famili bisa diniatkan untuk sedekah. Betapa besar pahalanya orang yang membahagiakan tetangga atau kerabat yang tidak cukup uang untuk membuat tajjin sappar. Kemudian mendapatkan hantaran dari keluarga yang mampu.

Selain itu, kita juga juga niatkan sedekah tajin sappar tersebut kepada leluhur yang telah meninggal dunia mendahului kita. Tentu saja, pahala sedekah yang kita haturkan tersebut akan tersampaikan kepada para ahlil kubur.

Dikisahkan dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam bertemu dengan seorang laki-laki yang ditinggal wafat oleh sang ibunda. Laki-laki tersebut kemudian bertanya kepada Rasulullah perihal niatnya untuk bersedekah atas nama ibundanya yang sudah meninggal, sebab ia ingin pahala sedekah tersebut dapat mengalir kepada ibunya. Rasul pun membolehkan hal tersebut, seperti yang tercatat dalam hadis riwayat Bukhari berikut:

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam: “Sesungguhnya ibuku telah wafat, apakah bermanfaat baginya jika saya bersedekah atas namanya?” Rasul menjawab: “Ya”. Orang itu berkata: “Sesungguhnya saya mempunyai kebun yang berbuah, maka saya mempersaksikan kepadamu bahwa saya telah menyedekahkannya atas namanya”. (HR. Bukhari).

Dalam riwayat lain, dari Sayyidah Aisyah:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا

Artinya: Seorang laki-laki berkata  kepada Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam, “Ibuku meninggal dunia dengan mendadak, dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan bersedekah. Apakah dia akan memperoleh pahala jika aku bersedekah untuknya?”. Rasulullah menjawab, “Ya, benar.” (HR Bukhari)

Sedekah anil mayyit atau sedekah untuk mayit yakni bersedekah dengan pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal. Hal ini disyariatkan di dalam Islam berdasar kesepakatan para ulama yang bersandar pada hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam di atas.

Dalam hal ini tentu sesuai dengan persyaratan yang sudah ditentukan mengenai sedekah itu sendiri. Termasuk niat yang ikhlas semata-mata karena Allah. Demikian ini berarti wujud berbakti kepada kedua orangtua atau leluhur kita yang sudah meninggal adalah dengan bersedekah atas namanya. Yakni kita keluarkan seberapa dana atau bentuk makanan yang kemudian kita sedekahkan dengan pahalanya dihadiahkan untuk orang tua kita yang telah meninggal dunia.

Wallahu a’lam (emha)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


*