MEMAHAMI ADAT TUNANGAN DAN PINANGAN MENURUT SYARIAT ISLAM

Dipublikasikan

Membenahi Adat bertunangan

Ada semacam tradisi atau opini yang berkembang di masyarakat dan terlanjur menggurita, bahwa pertunangan dipersepsikan sebagai semi pernikahan. Bertunangan kemudian menikah seperti halnya dua komponen yang nyaris tak terpisahkan. Bertunangan menjadi proses awal menuju jenjang pernikahan. Dan yang perlu disoroti dalam tradisi bertunangan; terjadinya hubungan hangat dua insan yang saling menyayangi hingga mengangkat sekat-sekat yang terpisah dan merapatnya hubungan yang awalnya renggang.

Pinangan, bukan tunangan.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), pinangan adalah permintaan seorang laki-laki untuk memperistri seorang perempuan. Pinangan juga berarti lamaran atau melamar. Melamar seorang wanita yang telah siap untuk menjadi pasangan hidupnya.

Pada masa Rasulullah, putri kesayangan Nabi; Sayyidah Fatimah dipinang oleh para sahabat terdekat beliau. Tercatat nama Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar bin Khattab pernah meminang sang putri Baginda Nabi, namun pinangan itu ditolak dengan halus oleh beliau karena tidak ada isyarat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Dalam obrolan sedikit bercanda, Sayyidina Umar dan Sayyidina Abu Bakar memberi saran kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib; “Mengapa bukan engkau yang mencoba, wahai kawan?” Kalimat itu mengagetkan Sayyidina Ali. “Mengapa engkau tidak mencoba meminang Fathimah? Aku punya firasat engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi”. Ucap mereka berdua.

Dengan perasaan yang berkecamuk, Sayyidina Ali memberanikan diri menghadap Nabi. Sayyidina Ali menyampaikan keinginannya untuk menikahi Sayyidah Fatimah. Secara ekonomi tak ada yang menjanjikan dalam diri Sayyidina Ali. Ia hanya memiliki kuda, satu set baju besi dan tepung kasar sebagai persediaan makannya. Kehidupan Sayyidina Ali memang cukup memprihatinkan ketimbang para sahabat yang lain.

Sayyidina Ali pemuda yang siap bertanggung jawab atas cintanya. Pemuda yang siap menanggung resiko atas setiap pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala Maha Kaya.

Menanggapi pinangan Sayyidina Ali, sambil tersenyum Nabi bertanya; “Kau punya apa?” “Hanya kuda dan baju perang”, jawab Sayyidina Ali. “Kuda itu pasti sangat penting bagimu, jual saja baju perangmu”, Nabi menerima pinangan Sayyidina Ali yang kemudian dinikahkan dengan mahar sebesar 480 dinar hasil menjual baju perangnya.   

Inilah jalan cinta para pejuang, jalan yang mempertemukan cinta dengan tanggung jawab. Cinta antara Sayyidina Ali dan Sayyidah Fathimah adalah cinta yang tak pernah meminta untuk menanti. Kisah cinta Sayyidina Ali tanpa pertunangan tapi pinangan, dan langsung menikah. Dan pernikahan mulia tersebut ditutup doa oleh Baginda Nabi; “Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak”. (HR. Ibnu Hibban).

Perjuangan seorang lelaki sejati untuk mendapatkan perempuan adalah perjuangan dengan cara yang baik. Yaitu cara yang tidak menjerumuskan calon pasangan hidupnya pada jurang kemaksiatan. Telah banyak kita temukan dan menjadi hal biasa bahwa hubungan pra nikah; seperti tunangan telah menjadi awal untuk menghalalkan yang haram.

Dalam Islam yang ada adalah pinangan atau khitbah, bukan tunangan. Jika memang dipaksakan menggunakan istilah adat kita yaitu tunangan, ya sah-sah saja. Namun harus tetap berpegang pada aturan syariat. Adapun langkah-langkah atau proses yang benar adalah: melihat calon tunangan. Seorang lelaki disunnahkan melihat terlebih dahulu perempuan yang hendak dipinang. Tujuannya agar tidak ada penyesalan di kemudian hari yang bisa merusak keharmonisan hubungan.

Bolehnya melihat perempuan yang hendak dipinang dengan catatan mempunyai keinginan kuat untuk meminangnya, bukan sekedar main-main, berkenalan, dsb.  Kesunnahan melihat calon juga berlaku untuk perempuan. Seorang perempuan juga disunnahkan untuk melihat laki-laki yang hendak meminangnya.

Tahap berikutnya; jika dirasa sama-sama cocok, prosesi khitbah atau pinangan harus segera dilaksanakan. Melamar bukan hanya sebagai pengikat bahwa perempuan tersebut telah mempunyai calon suami. Tapi khitbah yang diajarkan di dalam Islam adalah dengan cara langsung terjadi akad nikah. Dengan begitu tidak akan terjadi dosa atas kemaksiatan yang dilakukan keduanya.

Adat melanggar syariat

Di dalam kaidah fikih, adat memang bisa menjadi landasan atau dasar suatu hukum. Sebagaimana kaidah:

العادة محكمة

“Adat/tradisi dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum syara’.”

Kaidah lain menyebutkan:

الثابت بالعرف كالثابت بالنص

“Ketetapan hukum yang didasarkan atas tradisi sama dengan ketetapan yang didasarkan atas syara’”.

Namun yang perlu kita perhatikan bahwa tidak semua perilaku yang telah menjadi adat selaras dengan Syari’at, termasuk prosesi khitbah yang terjadi di kalangan masyarakat. Jika prosesi khitbah di dalam Islam telah terjadinya akad nikah kedua belah pihak, sedangkan khitbah dalam kalangan kita hanya sekedar tali pengikat, bukan akad. Dan dalam masa pengikatan itulah kedua belah pihak sama-sama menyandang status tunangan.

Dalam prakteknya, pasangan yang telah berstatus tunangan seakan diperbolehkan khalwat; boncengan, berduaan bahkan berpegangan tangan, dsb. Padahal perilaku itu mengakibatkan dosa dan mendekati perzinahan.

Herannya, orang tua dari pihak perempuan tidak mempermasalahkan putrinya dibawa kemana-mana. Bahkan merasa tidak dihargai jika hari raya tiba namun sang anak tidak dijemput untuk bersilaturahmi kepada keluarga pihak laki-laki.

Dan jika ada laki-laki mempunyai prinsip tidak mau jalan berduaan dengan tunangannya. Maka siap-siap akan menerima cemoohan dari berbagai pihak. Dari ucapan; Jadul, sok suci, dan sebagainya akan mudah terdengar di telinga. Benar-benar pola pikir dan adat yang salah, bahkan cenderung menyesatkan.

Sulit memang untuk menerapkan hal ini, namun harus ada kesungguhan dari kedua belah pihak khususnya orang tua pihak perempuan. Bicarakan baik-baik agar tidak timbul kesalahpahaman yang mengakibatkan rusaknya hubungan antar keduanya. Wallahu A’lam (emha)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


*