SESUNGGUHNYA SETIAP AMAL TERGANTUNG PADA NIATNYA

29 September 2022 16:14 WIB0 Komentar

Sebagai seorang manusia yang merupakan makhluk sosial, manusia cenderung menyukai penilaian orang lain. Ada dua karakter penilaian dalam kehidupan bermasyarakat, yang pertama adalah pujian. Penilaian ini sangat disukai oleh mayoritas manusia. Seperti halnya mengkonsumsi madu, pujian sangat manis rasanya, nikmat kedengarannya dan membekas dalam ingatannya.

Disadari atau tidak, memang tabi’at manusia ingin terlihat baik, perhatian, rajin dan shaleh dihadapan orang lain. Tabi’at ini sangat sulit dihilangkan pada diri manusia. Bahkan tak jarang kita temukan orang yang sangat mendambakan pujian dengan melakukan pencitraan. Hanya segelintir orang saja yang mampu menghindar dari tabia’at ini.

Jika kita tinjau dalam bahasa Arab ada dua kata tentang pujian, yaitu  الحمد dan المدح. Dua kata ini hurufnya sama hanya saja posisinya berbeda dan ternyata memiliki arti yang tidak jauh berbeda. الحمد : hanya dikhususkan kepada dzat yang maha mulia yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan pengucapannya mengandung mahabbah (kecintaan). Sedangkan المدح adalah pujian yang dipersembahkan untuk seseorang yang telah berbuat baik atau pun tidak. Dan pengucapannya tidak mengandung mahabbah.

Bahkan kalau kita melihat kamus bahasa arab dan kita buka kata kunci  مدح yang artinya memuji, maka pada bentuk lain akan kita temukan kata مدحين yang diartikan dengan para penjilat. Bermakna penjilat karena mereka memuji seseorang tanpa memandang apakah orang tersebut telah melakukan kebaikan atau tidak.

Oleh karena itu, seseorang yang beribadah atau berbuat baik hanya karena ingin tampak baik atau ingin mendapatkan pujian manusia, disebut dengan Riya'.

Penyakit hati ini sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah karena termasuk syirik kecil yang jika tidak segera diobati, maka akan naik pada tingkatkan munafik. Naudzubillah. Rasulullah bersabda :

أَخْوَفُ مَااَخَافُ عَلَيْكُمُ الْشِّرْكُ الْاَ صْغَرُفُسُىِٔلَ عَنْهُ فَقَالَ الرِّيَاءُ

“Sesuatu yang sangat aku takutkan yang akan menimpa kamu ialah syirik kecil. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, ditanya tentang apa yang dimaksud syirik kecil itu, maka beliau menjawab yaitu riya.” (HR Ahmad).

Rasulullah menyebut syirik kecil karena menyekutukan Allah dengan cara mengharapkan respon orang lain, linnas bukan lillah.

Adapun tanda-tanda orang Riya', Sayyidina Ali menyebutkan;

لِلْمُرَائِي ثَلَاثُ عَلَامَاتٍ : يَكْسَـلُ إذَا كَانَ وَحْدَهُ، وَيَنْشَـطُ إذَا كَانَ فِي النَّاسِ، وَيَزِيدُ فِي الْعَمَلِ إذَا أُثْنِيَ عَلَيْهِ وَيَنْقُصُ إذَا ذُمَّ

“Orang riya’ memiliki tiga ciri : malas ketika sendirian, rajin saat di tengah banyak orang, serta amalnya meningkat kala dipuji dan menurun kala dicaci.” (Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, dikutip dari Ihya’ ‘Ulumiddin karya Imam al-Ghazali)

Rasulullah menyebut riya’ sebagai syirik kecil. Dikatakan syirik karena ia menyekutukan Allah dengan nafsu diri sendiri atau respon orang lain. Sebuah amal yang dihinggapi riya, seringkali mempertimbangkan bagaimana orang lain memberi tanggapan. Ia lahir bukan dari ketulusan. Melainkan, terdapat campuran keinginan mendapat citra positif di mata manusia. Akibatnya, amal kebaikan berlangsung naik-turun seiring dengan besar-kecilnya potensi keuntungan penilaian dari manusia.

Riya ada dua jenis; pertama hukumnya syirik akbar (besar). Hal ini terjadi jika sesorang melakukan seluruh amalnya agar dilihat manusia, dan tidak sedikit pun mengharap Ridlo Allah. Inilah riya’ yang dimiliki oleh orang-orang munafik.

Dikisahkan; suatu ketika ada seorang kaya raya sowan ke Habib Abdullah Al-haddad. Ia menghaturkan niatnya untuk membangun Masjid megah. “Kalau niat anda ikhlas karena Allah, saya tidak bisa menolak niat baik anda. Namun jika niat anda tidak karena Allah, maka saya akan menolaknya” ujar Habib Abdullah Al-haddad. “Saya membangun masjid ikhlas karena Allah, wahai Habib”, ujarnya.

Karena sedikit memaksa dan meyakinkan kepada Habib Abdullah Al-haddad akan keikhlasannya, Habib Abdullah Al-haddad berkata: “oke! Begini, nanti kamu membangun masjid dengan susah payah dan menghabiskan biaya yang besar, setelah masjid itu rampung akan saya nisbatkan masjid tersebut dengan nama selain namamu. Contoh namanya: Masjid Fulan, bukan namamu. Dan nantinya kamu tidak akan terkenal sebagai orang yang telah membangun dan membiayai seluruh pembangunan masjid tersebut”.

Mendengar dawuh Habib Abdullah Al-haddad, orang itu berfikir sejenak lalu berkata “kalau begitu saya tidak sanggup, wahai Habib”. “ Ya sudah, jangan diteruskan! Berarti niatmu belum benar-benar ikhlas”, ujar Habib Abdullah Al-haddad.

Kedua adalah riya' yang terkadang menimpa orang yang beriman. Sikap riya’ ini terkadang muncul dalam sebagian amal. Seseorang beramal karena Allah dan juga diniatkan untuk selain Allah. Riya' jenis seperti ini merupakan perbuatan syirik asghar (kecil).

Jika kuatnya rasa ingin dipuji masih tahap yang kedua ini, maka teruslah beramal sambil berusaha untuk merubah niat murni karena Allah. Jangan jadikan dasar karena tidak ikhlas lantas tidak beramal.

Ada kisah menarik, suatu ketika Kiai Bisri Mustofa seorang Ulama produktif penulis Kitab Tafsir Al Ibriz li ma'rifatil Qur’an Al Aziz dan beberapa kitab ini kedatangan Kiai Ali Makshum. Beliau bertanya “Kiai, kalau dari ke'aliman lebih ‘alim saya, tapi kenapa sampean lebih produktif?”.

“Karena setiap saya menulis buku atau kitab saya niatkan dapet royalti (penghasilan) bukan lillahi ta'ala”. Jawab Kiai Bisri Mustofa. Kiai Makshum kaget mendengar jawaban Kiai Bisri. “Lha, kok bisa tidak lillahi ta'ala, Kiai?”.

"Kalau belum apa-apa sudah lillahi ta'ala, maka syetan dan gerombolannya bakal menggoda saya agar tulisan tidak selesai-selesai, Kiai. Baru kalau sudah selesai dan siap cetak, saya rubah niat lillahi ta'ala wa linasyril ilmi. Sekali-kali kita tipu syetan, Kiai”, jawab Kiai Bisri Mustofa.

Wallahu A'lam *(Emha)

Bagikan: