MEMAHAMI HAKIKAT SYUKUR YANG DIAJARKAN RASULULLAH

Dipublikasikan

Sebagai umat muslim, sehari semalam kita diwajibkan melaksanakan shalat lima waktu; Shubuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya’. Dalam pelaksanaannya, lima waktu shalat tersebut memiliki rukun yang haru dikerjakan demi menggapai keabsahannya. Salah satu dari rukun yang akan kita bahas pada edisi kali ini adalah membaca surah Al-fatihah.

Penulis tidak membahas satu-persatu dari tujuh ayat secara keseluruhan. Namun hanya ingin membahas tentang ayat yang berbunyi:

الحمد لله رب العالمين

Jika mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa basmalah  termasuk bagian dari surah Al-fatihah, maka ayat di atas termasuk ayat kedua.Namun jika mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa basmalah tidak termasuk ayat dari surah Al-fatihah, maka ayat di atas terhitung ayat pertama.

Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Begitulah arti dari ayat tersebut. Dengan melihat makna yang terkandung di dalamnya, maka akan kita dapati tentang pujian seorang hamba kepada sang maha pencipta, yakni Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Segala puji. Ya, tidak ada yang pantas dipuji kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Jadi seorang hamba Allah yang melakukan shalat lima waktu, telah mengulangi bacaan ayat di atas sebanyak 17 Kali. Dengan demikian, seseorang yang shalat telah mengungkapkan rasa syukur kepada Allah dengan dua komponen didalam tubuh. Yaitu bersyukur dengan (lisan) ungkapan Alhamdulillah dan dengan tindakan yakni pelaksanaan shalatnya tersebut.

Di dalam Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 7, Allah berfirman :

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ

Artinya, “Sungguh, jika kalian bersyukur, niscaya Kutambahkan nikmat kalian,”

Syukur merupakan tanda terima kasih kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan Allah telah menjanjikan bahwa orang yang pandai bersyukur akan ditambah kenikmatannya. Dan syukur yang banyak kita temui adalah ungkapan Alhamdulillah saja tanpa menghiraukan kewajiban shalatnya. Apakah orang yang demikian bisa dikatakan telah bersyukur? Jawabannya; tidak!

Karena kata para ulama’ cara bersyukur meliputi tiga komponen, yaitu dengan lisan, hati, dan badan. Bersyukur dengan lisan adalah mengungkapkan pujian kepada Allah. Seperti ungkapan ayat kedua di dalam surah Alfatihah di atas.

Kedua, komponen untuk mewujudkan rasa syukur adalah Hati. Dengan memantapkan hati bahwa segala kenikmatan yang telah diperoleh; sehat, rezeki, kesuksesan, bahkan sakit sekalipun merupakan nikmat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Seyogyanya, dalam mengucapkan Alhamdulillah juga bibarengi dengan pengakuan di dalam hati bahwa kenikmatan tersebut dari Allah. Bukan dari kita sendiri. Lahaula walaquata Illa billah (tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).

Karena tak jarang seseorang yang telah sukses merasa kesuksesan yang diraih merupakan jerih payahnya, tanpa disandarkan kepada sang Maha Kuasa; Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Memang dilisannya mengucapkan Alhamdulillah, namun di dalam hatinya tak sedikitpun mengingat Allah.

Dan komponen yang ketiga adalah badan atau tubuh kita. Pembuktian bahwa kita bersyukur atau berterima kasih atas segala nikmat Allah adalah dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Khususnya adalah shalat. Tidak cukup dengan syukur bil-lisan dan bil-qolbi saja. Namun juga dieskspresikan dengan melaksanakan penghambaan kita kepada Allah yaitu shalat.

Al-Qusyairi dalam kitab Ar-risalatul Qusyairiyah menyebutkan tentang hakikat syukur;

حقيقة الشكر عند أهل التحقيق الإعتراف بنعمة المنعم على وجه الخضوع

“Hakikat syukur menurut ahli hikmah adalah pengakuan atas nikmat Allah; dzat pemberi nikmat dengan jalan ketundukan”.

Ya, ketundukan. Shalat adalah bukti bahwa kita hamba. Seorang hamba harus tunduk kepada Sang Maha Raja; Allah SWT. Di dalam hadist  riwayat Sayyidah Aisyah disebutkan bahwa suatu ketika Atha’ dan Ubaid bin Umair menemui Sayyidah Aisyah.

“Kabarkan kepada kami, perbuatan Rasulullah yang bagaimana hingga membuatnu heran?”, Kata Atha’. Mendengar pertanyaan tersebut tiba-tiba Sayyidah Aisyah menangis dan kemudian bercerita.

Suatu malam Rasulullah mendatanginya dan berbaring di kasur hingga kulit keduanya saling bersentuhan. Tak lama kemudian, tiba-tiba Rasulullah bangun dan berkata;

Wahai putri Abu Bakar, biarkan aku beribadah kepada Allah malam ini,” katanya.  “Aku senang dekat dengamu, wahai Rasulullah,” jawab Aisyah. Kemudian Rasulullah mendekati kirbat (tempat air) yang berisi air dan berwudhu. Pada kesempatan ini Rasulullah menuang banyak air untuk wudhunya. Aisyah pun merelakan suaminya beribadah menghidupkan malam.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mulai melakukan shalat. Ia menangis. Air matanya mengalir hingga membasahi dadanya. Ia turun untuk rukuk. Pada rukuk ini ia juga menangis. Kemudian i’tidal dan sujud. Ia juga sujud dalam keadaan menangis. Kemudian bangun dari sujud ia juga menangis.

Rasulullah saw terus melakukan shalat dengan menangis sepanjang malam sampai sahabat Bilal r.a. datang untuk mengabarkannya adzan Shubuh. Karena khawatir, Aisyah bertanya kepada Rasulullah tentang apa yang terjadi hingga membuatnya menangis. “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosamu yang dahulu dan kemudian,” tanya Aisyah ra. “Tidakkah sepatutnya aku menjadi hamba yang bersyukur?, jawab Rasulullah. Dari cerita di atas dapat kita jadikan semangat dalam menjaga shalat sebagai rasa syukur kepada Allah atas segala nikmatnya.

Salah memahami nikmat Allah

Oleh masyarakat khususnya orang awam, nikmat Allah identik dengan harta melimpah. Kekayaan dijadikan barometer telah memperoleh nikmat. Hingga ketika masa sulit ekonomi, seakan tak mendapatkan nikmat dari Allah. Satu kesalahan pola pikir yang sering kita dengar atau bahkan kita rasakan. Padahal nikmat Allah sangat luas sekali. Dan yang berupa harta tersebut adalah sebagian kecil dari kenikmatan-kenikmatan yang jauh lebih besar.

Dan jika hidup kita selalu dibanding-bandingkan dengan orang lain, maka tidak akan pernah bersyukur dengan pemberian Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dikatakan bahwa untuk melatih rasa syukur adalah dengan cara melihat orang yang dalam segi ekonomi berada di bawah kita. Melihat bukan untuk direndahkan, tapi untuk menjadi dorongan di dalam hati agar supaya timbul rasa syukur. Sedangkan dalam urusan ibadah (ukhrowi), kita dianjurkan melihat orang yang lebih rajin dan Istiqomah dari kita. Dengan begitu semangat ibadah akan semakin kuat. Jangan terbalik! Karena jika terbalik maka akan timbul perasaan; Aku harus lebih kaya dari dia (duniawi). Sedangkan ukhrowi; tidak mengapa shalatku bolong-bolong, dari pada si Fulan tidak shalat sama sekali. Wallahu A’lam (emha)

4 Komentar

  1. Haryono.atmosirin

    Trimkasih bermanfaat

  2. Alhamdulillah terimakasih mencerahkan, bersyukur lebih jika seseorang benar2 merasakan., syukur tdk akan berpengaruh terdap diri. laazidannakum jauh dari panggang api

  3. essays writing service

    MEMAHAMI HAKIKAT SYUKUR YANG DIAJARKAN RASULULLAH – UNZAH Genggong

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


*