UTAMAKAN KEBUTUHAN, BUKAN KEINGINAN

Dipublikasikan

Perjuangan nenek moyang kita untuk merebut kemerdekaan dengan mempertaruhkan jiwa dan raga akhirnya berhasil mengusir para penjajah dari bumi Pertiwi. Tak sedikit para pahlawan yang gugur demi membela tanah air. Keringat yang membasahi tubuh, bahkan darah yang mengalir sebagai bukti beratnya perjuangan melawan penjajah. Namun betapapun beratnya perjuangan para pahlawan bangsa ini, musuh yang mereka hadapi jelas wujudnya. Dan jelas pula keberadaan atau posisinya, sehingga masih bisa bersembunyi, lari atau langsung saja hadapi dengan kemampuan yang dimiliki.

Beratnya perjuangan yang dirasakan para pahlawan bangsa dalam melawan penjajah belum seberapa dibandingkan dengan perlawanan diri kita sendiri kepada musuh yang tak kasat masa. Bahkan pada masa itu para pahlawan juga merasakan hal sama. Dengan demikian nenek moyang kita melawan dua musuh; musuh yang tampak jelas wujudnya (penjajah) dan musuh yang tak tampak wujud atau keberadaanya.

Musuh yang lebih berbahaya dan tidak tampak wujudnya ini adalah hawa nafsu. Keberadaannya sangat dekat sekali dengan kita, karena berada dalam diri kita sendiri. Cara menyerangnya halus sekali, bahkan cenderung mempersembahkan kenikmatan kepada pengikutnya. Jika terlena akan bisikan hawa nafsu, maka siap-siap diperbudak.

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pernah menyinggung tentang bahaya dan besarnya pengaruh hawa nafsu. Disebutkan di dalam satu riwayat, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sepulang dari perang badar bersabda kepada para sahabat; “Kalian baru saja pulang dari pertempuran kecil menuju pertempuran akbar (yang lebih besar)”. “Apa pertempuran Akbar, wahai Rasulullah?”, tanya sahabat. Kemudian Rasulullah menjawab, “Pertempuran Akbar adalah jihad (melawan) hawa nafsu”. Begitulah besarnya pertempuran melawan hawa nafsu.

Sejatinya keberadaan hawa nafsu merupakan fitrah manusia. Ia adalah unsur ruhani yang menjadi sumber gerak di dalam tubuh. Hawa nafsu menggerakkan dan memproses seluruh organ dan sistem tubuh; baik pencernaan, pertumbuhan, panca Indra, dan sebagainya. Dari situlah sumber segala rasa dan hasrat jasmaniyah manusia. Dan ini tentunya terkait langsung dengan segala aktifitas kehidupan sehari-hari.  

Yang menjadi problem selama ini dan tak jarang kita terbelenggu adalah nafsu hewani yang tak terkontrol. Dari hal pokok seperti masalah makan, minum, dan lainnya, bisa terbawa oleh belenggu hawa nafsu. Contoh makanan, dorongan hawa nafsu ingin mengkonsumsi semua keinginan tanpa memperdulikan kesehatan ataupun kondisi keuangannya. Akhirnya, karena terbawa hawa nafsu, segala keinginan dituruti. Kalau tidak! Maka jiwa akan memberontak. Dan akibatnya, terjadilah pertengkaran suami istri, pencurian, hutang sana-sini, demi memenuhi bisikan hawa nafsu.

Ketika hawa nafsu seseorang terlampau kuat mencengkram tubuh, sementara hati akalnya lemah, maka perbudakan telah dimulai dalam diri. Sebagaimana puisi KH. Musthafa Bisri / Gus Mus. Sebab nafsu; Orang bicara bisa bisu, orang mendengar bisa tuli, orang alim bisa nafsu, orang sakti bisa mati.

Lalu bagaimana cara memerangi atau melawan perbudakan itu? Menurut Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani, hal pertama yang penting dilakukan untuk mengendalikan hawa nafsu adalah melalui puasa. Nafsu ibarat kayu kering, sementara makan adalah bahan bakarnya. Api yang menjalar pada kayu itu akan kiar berkobar saat kayu bakar dimasukkan dengan tanpa mempertimbangkan kebutuhannya. Akibatnya bisa terjadi kebakaran jika tidak segera mengkondisikan atau bahkan mengeluarkan semua kayu yang telah di masukkan. Secara makna yang lebih luas, puasa juga dimaknai sebagai penahan diri dari berbagai keinginan yang tak terlalu penting. Meskipun halal, namun berupaya sebisa mungkin untuk mencegah diri membeli atau mengkonsumsi sesuatu dengan berlebihan.

Cara yang kedua untuk menundukkan hawa nafsu sebagimana tertuang dalam kitab Alminahus Saniyah adalah dengan mengurangi tidur. Maksud dari mengurangi tidur bukan berarti begadang dengan ragam kegiatan yang tidak bermanfaat. Tidur seperti halnya makan, bisa menjadi sumber yang menutup kejernihan dalam menerima cahaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mengurangi tidur berarti menambah kadar ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala; dengan menunaikan shalat malam, memperbanyak dzikir, serta bermunajat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Bisa dikatakan, nafsu ibarat hewan beringas dan nakal. Untuk menjinakkannya dengan cara membuat dia lapar dan payah merupakan pilihan strategi yang efektif. Selama proses penundukan itu, nafsu mesti disibukkan dengan hal-hal positif agar semakin jinak dan tidak bisa.

Singkatnya, melawan hawa nafsu dengan cara tidak menuruti nafsu tersebut. Dengan tidak menuruti hawa nafsu, maka tergolong sebagai ibadah. Mari kita simak kata hikmah dari Syaikh Ibnu Athaillah;

إذا التبس عليك أمران فانظر أثقلهما على النفس فاتبعه فإنه لا يثقل عليها إلا ما كان حقاً

“Jika ada dua hal yang tidak jelas bagimu maka lihatlah mana yang paling berat menurut nafsumu, lalu ikutilah. Sebab hal-hal yang berat menurut nafsu adalah sesuatu yang benar”

Seperti telah disinggung diatas bahwa nafsu cenderung mempersembahkan kenikmatan, maka pilihlah yang berat; yang tidak ada unsur kenikmatan atau kesenangan sementara. Berat memang, tapi itulah pilihan yang tepat. Harus bisa “keluar dari zona nyaman”, begitu lah quote yang sering anak-anak muda kumandangkan. Didalam buku “Biarkan Jemari Kiai Menari, kumpulan mutiara hikmah KH. Moh. Hasan Naufal”, juga disebutkan: “Jika hatimu menuntut segalanya, ketahuilah bahwa hatimu sedang tertipu.

Wallahu A’lam (emha)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


*